Tim SAR Turki Mulai Pesimis Mencari Korban Gempa
JAKARTA, Pantaumedia.id – Hingga Sabtu (11/2/2023), gempa dahsyat di kawasan Turki dan barat laut Suriah yang terjadi Senin (6/2/2023), telah mengakibatkan 23.700 jiwa meninggal dunia.
Jumlah tersebut melampaui korban jiwa gempa Turki yang terjadi pad 1999 dengan korban 17 ribu orang.
Laporan Al Jazeera menyebutkan tim penyelamat mulai panik karena harapan untuk menemukan korban yang selamat meredup setiap jam.
“Tim penyelamat menggali puing-puing dan berharap menemukan beberapa orang hidup atau mati karena sekarang sudah lebih dari 96 jam dan harapan di sini semakin memudar,” lapor Al Jazeera.
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengakui bahwa harapan tak sesuai dengan kenyataan.
“Meskipun kami memiliki tim SAR terbesar di dunia saat ini, kenyataannya upaya pencarian tidak secepat yang kami inginkan,” ujarnya, dikutip dari Aljazeera, Sabtu (11/2/2023).
Kemal Kilicdaroglu, pemimpin partai oposisi utama Turki, mengkritik respons pemerintah dalam menangani bencana mematikan tersebut.
“Gempanya sangat besar, tetapi yang jauh lebih besar dari gempa itu adalah kurangnya koordinasi, kurangnya perencanaan dan ketidakmampuan,” kata Kilicdaroglu dalam sebuah pernyataan.
Dengan kemarahan rakyat atas keterlambatan pengiriman bantuan serta upaya penyelamatan, bencana tersebut kemungkinan besar akan menghalangi upaya Erdogan untuk terpilih kembali menjadi pemimpin Turki. Apalagi pemungutan suara dijadwalkan tak lama lagi, yaitu pada 14 Mei 2023. Pemilihan juga terancam ditunda karena bencana tersebut.
Menteri kesehatan Turki mengatakan, jumlah kematian di negaranya naik menjadi 20.213 jiwa. Di Suriah, lebih dari 3.500 telah tewas. Namun, diperkirakan ada lebih banyak korban yang terperangkap di bawah reruntuhan.
Di Suriah, pemerintah pada Jumat kemarin menyetujui pengiriman bantuan kemanusiaan melintasi garis depan perang yang selama 12 tahun melanda negara itu.
Organisasi PBB World Food Programme mengatakan, stok bantuan kemanusiaan sudah habis di Suriah barat laut yang dikuasai pemberontak karena keadaan perang mempersulit upaya bantuan.
Dr Mohamed Alabrash, seorang ahli bedah umum di Rumah Sakit Pusat Idlib di Suriah barat laut, mengeluarkan permohonan bantuan mendesak.
“Kami menghadapi kekurangan obat dan peralatan,” katanya kepada Al Jazeera. “Rumah sakit penuh dengan pasien, begitu pula unit perawatan intensif. Kami tidak bisa menangani pasien dalam jumlah besar ini. Cedera pasien sangat berat, dan kami membutuhkan lebih banyak dukungan,” sebutnya.
Dokter mengatakan, pekerja medis di fasilitas tersebut berada di bawah tekanan ekstrem karena bekerja sepanjang waktu.
“Semua staf medis bekerja selama 24 jam dan kami telah menghabiskan semua bahan yang kami miliki, dari obat-obatan hingga bahan ICU,” kata Alabrash. Dia juga menambahkan bahwa generator rumah sakit hampir kehabisan bahan bakar. (*)