Menghadapi Serangan Dunia, Presiden Jokowi Tetap Lanjutkan Kebijakan Hilirisasi! Indonesia Tak Akan Mundur!
Jakarta, Pantaumedia.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan respons terhadap “serangan” dari dunia terkait kebijakan Pemerintah Indonesia, khususnya larangan ekspor mineral mentah dan program hilirisasi di dalam negeri.
Presiden Jokowi dengan tegas menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia akan tetap melanjutkan program hilirisasi meskipun menghadapi “serangan” dari berbagai pihak, termasuk gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan kritikan dari Dana Moneter Internasional (IMF).
“Oleh sebab itu, hilirisasi ini apapun harus kita teruskan, meskipun kita digugat oleh WTO, meskipun kita diberikan peringatan oleh IMF, apapun barang ini harus kita teruskan,” tegas Presiden Jokowi saat memberikan sambutan pada pengukuhan Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia masa bakti 2023-2028 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, dikutip Sabtu (5/8/2023).
Presiden Jokowi menegaskan bahwa kebijakan hilirisasi di dalam negeri sangat penting untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju.
“Jadi, sore ini saya akan bicara mengenai hilirisasi karena menurut saya ada dua hal penting yang menyebabkan kita bisa melompat menjadi negara maju, pertama pengembangan SDM karena bonus demografi yang sukses dilakukan, sekarang ini belum,” tutur Jokowi.
“Kalau itu bisa dilakukan, hilirisasi berhasil untuk perkebunan perikanan pertanian, kalau hitungan World Bank, IMF, OECD di 2040-2045 saya yakin ini bisa agak maju,” imbuhnya.
Presiden Jokowi juga mengungkapkan bahwa dampak dari program hilirisasi nikel Indonesia telah menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih banyak daripada ketika hanya menjual mineral mentah.
Jokowi menyebutkan bahwa sebelum adanya hilirisasi, lapangan kerja di sektor nikel hanya mencapai 1.800 tenaga kerja. Namun, setelah dilakukan program hilirisasi, jumlah tenaga kerja yang terserap mencapai 71.500 orang. Jumlah tersebut baru berlaku di Sulawesi Tengah saja, belum termasuk di daerah lain yang juga ikut menggenjot program hilirisasi.
“Begitu juga di Maluku Utara, sebelumnya hanya 500 orang yang bekerja, setelah hilirisasi meningkat menjadi 45.600 pekerja yang terlibat dalam hilirisasi nikel di sana,” tambahnya.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menyebutkan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia setelah dilakukan hilirisasi mengalami lonjakan signifikan. Pada tahun 2022 lalu, nilai ekspor nikel Indonesia mencapai US$33,8 miliar atau sekitar Rp512 triliun (dengan asumsi kurs Rp15.152/US$), meningkat tajam dari US$2,1 miliar atau sekitar Rp31,82 triliun sebelum hilirisasi berjalan beberapa tahun sebelumnya.
“Kalau kita lihat ini untuk seluruh produk turunan nikel, tidak hanya besi baja saya dulu US$1,1 billion, ini seluruh produk turunan nikel 2014-2015 ke sana kita ekspor barang mentah hanya menghasilkan US$2,1 billion, kurang lebih Rp31 triliun,” ungkap Presiden Jokowi.
“Setelah hilirisasi menjadi Rp510 triliun, dari nikel kembali lagi dari US$2,1 billion melompat menjadi US$33,8 billion, berarti melompatnya berapa kali,” tambahnya.
Namun, kebijakan hilirisasi ini tidak luput dari “serangan” dari luar. Uni Eropa menggugat Indonesia di WTO karena melarang ekspor bijih nikel pada 2020. Pada Oktober 2022, WTO menyetujui gugatan Uni Eropa dan meminta Indonesia untuk mengubah kebijakannya. Pemerintah Indonesia segera mengajukan banding atas kekalahan pertama ini pada Desember 2023.
Tidak lama setelah itu, Uni Eropa kembali melakukan “serangan” dengan melakukan konsultasi Penegakan Aturan atau Enforcement Regulation, meskipun proses sidang banding belum dilaksanakan. Tindakan ini dilakukan untuk berkonsultasi dengan industri yang dirugikan oleh kebijakan Pemerintah Indonesia. Jika terbukti ada kerugian, Uni Eropa berencana memberlakukan bea masuk atas barang-barang dari Indonesia.
Selain Uni Eropa, IMF juga mengkritik kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi. IMF mengeluarkan pernyataan yang menyarankan Indonesia untuk mempertimbangkan penghapusan bertahap larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya ke komoditas lain. IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia ditinjau ulang dari segi analisis biaya dan manfaat. Menurut IMF, kebijakan hilirisasi dapat merugikan Indonesia dan perlu dipertimbangkan secara seksama.
“Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini,” kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Sabtu (5/8/2023).
IMF menyarankan adanya analisis rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi yang harus diinformasikan secara berkala, serta menekankan pada keberhasilan program hilirisasi dan perlunya evaluasi terhadap ekspansi hilirisasi ke komoditas lain. IMF juga menyarankan agar kebijakan industri dirancang agar tidak menghalangi persaingan dan inovasi serta meminimalkan dampak negatif lintas batas.
Dalam menghadapi berbagai “serangan” tersebut, Presiden Jokowi tetap teguh pada keputusannya untuk melanjutkan program hilirisasi demi mendorong Indonesia menjadi negara maju dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja melalui kebijakan tersebut.